Lab Laba Laba @ Berlinale 2016
Berlin International Film Festival (Berlinale) tahun ini mengundang sutradara film Indonesia, Edwin untuk mempresentasikan keterlibatannya bersama kelompok seniman Lab Laba Laba yang bekerja dengan arsip PFN (yang selama hampir 12 tahun terabaikan tak terawat).
Pada tahun 2014, Edwin (sutradara film Postcards From The Zoo, dan Babi Buta Yang Ingin Terbang), bersama beberapa seniman Indonesia menggagas sebuah kelompok kerja kolaboratif yang fokus kepada proses pembelajaran dan apresiasi film melalui medium film analog. Kelompok seniman yang disebut dengan nama Lab Laba Laba ini memulai kerja kreatifnya di gedung laboratorium film terbesar di Indonesia, milik Perusahaan Film Negara (PFN). Selama hampir 12 tahun gedung laboratorium PFN ini tidak aktif, tanpa pekerja, tanpa listrik, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Didalamnya tersimpan ribuan rol film produksi PFN yang hampir semuanya dalam kondisi rusak mengenaskan akibat tidak ada perawatan, dan pengabaian yang berkepanjangan. Film-film ini adalah dokumen penting yang perlu dirawat agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan pengetahuan dan pendidikan.
Selama lebih dari 1 tahun, Lab Laba Laba mengumpulkan dana dan tenaga untuk merawat film-film tersebut, membuka akses kepada publik agar terlibat aktif dalam proses pendataan, perawatan, dan mengajak para seniman untuk mengelola film-film tersebut sehingga bisa dipergunakan kembali, khususnya untuk kepentingan pendidikan dan kesenian.
Karya-karya seniman yang tergabung dalam Lab Laba Laba telah dipresentasikan baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 2015, Lab Laba Laba terlibat dalam 3 pameran besar, yaitu Mengalami Kemanusiaan di PFN, Yamagata International Documentary Film Festival di Jepang, dan Jakarta Biennale.
Berlinale adalah salah satu Festival Film International terpenting di dunia (bersama Venice dan Cannes), semenjak 2 tahun ini memiliki program khusus untuk memperhatikan arsip film secara mendalam. Dalam program Berlinale Forum Expanded tahun ini, Edwin diminta untuk mempresentasikan kerja kolektif Lab Laba Laba yang dianggap kreatif dan efisien dalam memperkenalkan arsip film kepada masyarakat. Dalam presentasinya yang berbentuk Talk/Lecture ini, Edwin akan membuka diskusi mengenai problem pengabaian arsip di PFN yang berpotensi menghilangkan memori kolektif dan kesempatan bangsa Indonesia untuk mempelajari sejarah dan masa depannya sendiri. Dalam presentasi ini, Edwin juga akan menekankan pentingnya melibatkan seniman yang bekerja berdasarkan niat untuk mengeksplorasi proses transfer pengetahuan dalam pengelolaan arsip-arsip film propaganda produksi PFN.
Kesempatan presentasi Lab Laba Laba di Berlinale ini diharapkan bisa memberikan gambaran atau bahkan membangkitkan pertanyaan dan pemikiran kritis seputar bagaimana arsip film bisa berkontribusi untuk mengeksplorasi ingatan kolektif, membangun kesadaran manusia untuk menghadapi persoalan-persoalan opresif, semacam ketidak adilan yang sifatnya rutin dan sehari-hari, yang bahkan mulai diabaikan oleh mati rasa manusia-manusia itu sendiri.
Jika kita percaya sejarah harus terus dipahami berulang-ulang, dikritisi, dilengkapi dan dipelajari dari berbagai sudut pandang, maka sudah munculkah itu pemahaman-pemahaman lain mengenai sejarah kita? Proses pembelajaran seperti bagaimana yang muncul dari ketidak lengkapan fakta-fakta, dan artefak-artefak sejarah. Pertanyaan-pertanyaan macam inilah yang mendasari kerja kreatif seniman-seniman Lab Laba Laba.
Sebelum berangkat ke Berlin, Edwin bersama Lab Laba Laba ingin mengundang kawan-kawan semua untuk hadir mendengarkan dan mendiskusikan presentasi Edwin berjudul Rotting Away Behind Locked Doors, yang nantinya akan dipresentasikan juga di Berlinale.
Hari/Tanggal: Selasa, 9 Februari 2016
Jam: 13.30 – selesai
Lokasi: Kinosaurus, Jl. Kemang Raya No.8B, Jakarta Selatan (Masuk dari Toko Buku Aksara)
Acara: Bincang-bincang santai bersama Edwin seputar presentasinya di Berlinale 2016 berjudul Rotting Away Behind Locked Doors.
Besar harapan kami kepada kawan-kawan media untuk menyempatkan hadir dan menyebarkan kabar ini.
Untuk konfirmasi kehadiran, harap melakukan RSVP melalui email ini: [email protected]
Atas perhatian dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.
Salam,
Lab Laba Laba
Pada tahun 2014, Edwin (sutradara film Postcards From The Zoo, dan Babi Buta Yang Ingin Terbang), bersama beberapa seniman Indonesia menggagas sebuah kelompok kerja kolaboratif yang fokus kepada proses pembelajaran dan apresiasi film melalui medium film analog. Kelompok seniman yang disebut dengan nama Lab Laba Laba ini memulai kerja kreatifnya di gedung laboratorium film terbesar di Indonesia, milik Perusahaan Film Negara (PFN). Selama hampir 12 tahun gedung laboratorium PFN ini tidak aktif, tanpa pekerja, tanpa listrik, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Didalamnya tersimpan ribuan rol film produksi PFN yang hampir semuanya dalam kondisi rusak mengenaskan akibat tidak ada perawatan, dan pengabaian yang berkepanjangan. Film-film ini adalah dokumen penting yang perlu dirawat agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan pengetahuan dan pendidikan.
Selama lebih dari 1 tahun, Lab Laba Laba mengumpulkan dana dan tenaga untuk merawat film-film tersebut, membuka akses kepada publik agar terlibat aktif dalam proses pendataan, perawatan, dan mengajak para seniman untuk mengelola film-film tersebut sehingga bisa dipergunakan kembali, khususnya untuk kepentingan pendidikan dan kesenian.
Karya-karya seniman yang tergabung dalam Lab Laba Laba telah dipresentasikan baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 2015, Lab Laba Laba terlibat dalam 3 pameran besar, yaitu Mengalami Kemanusiaan di PFN, Yamagata International Documentary Film Festival di Jepang, dan Jakarta Biennale.
Berlinale adalah salah satu Festival Film International terpenting di dunia (bersama Venice dan Cannes), semenjak 2 tahun ini memiliki program khusus untuk memperhatikan arsip film secara mendalam. Dalam program Berlinale Forum Expanded tahun ini, Edwin diminta untuk mempresentasikan kerja kolektif Lab Laba Laba yang dianggap kreatif dan efisien dalam memperkenalkan arsip film kepada masyarakat. Dalam presentasinya yang berbentuk Talk/Lecture ini, Edwin akan membuka diskusi mengenai problem pengabaian arsip di PFN yang berpotensi menghilangkan memori kolektif dan kesempatan bangsa Indonesia untuk mempelajari sejarah dan masa depannya sendiri. Dalam presentasi ini, Edwin juga akan menekankan pentingnya melibatkan seniman yang bekerja berdasarkan niat untuk mengeksplorasi proses transfer pengetahuan dalam pengelolaan arsip-arsip film propaganda produksi PFN.
Kesempatan presentasi Lab Laba Laba di Berlinale ini diharapkan bisa memberikan gambaran atau bahkan membangkitkan pertanyaan dan pemikiran kritis seputar bagaimana arsip film bisa berkontribusi untuk mengeksplorasi ingatan kolektif, membangun kesadaran manusia untuk menghadapi persoalan-persoalan opresif, semacam ketidak adilan yang sifatnya rutin dan sehari-hari, yang bahkan mulai diabaikan oleh mati rasa manusia-manusia itu sendiri.
Jika kita percaya sejarah harus terus dipahami berulang-ulang, dikritisi, dilengkapi dan dipelajari dari berbagai sudut pandang, maka sudah munculkah itu pemahaman-pemahaman lain mengenai sejarah kita? Proses pembelajaran seperti bagaimana yang muncul dari ketidak lengkapan fakta-fakta, dan artefak-artefak sejarah. Pertanyaan-pertanyaan macam inilah yang mendasari kerja kreatif seniman-seniman Lab Laba Laba.
Sebelum berangkat ke Berlin, Edwin bersama Lab Laba Laba ingin mengundang kawan-kawan semua untuk hadir mendengarkan dan mendiskusikan presentasi Edwin berjudul Rotting Away Behind Locked Doors, yang nantinya akan dipresentasikan juga di Berlinale.
Hari/Tanggal: Selasa, 9 Februari 2016
Jam: 13.30 – selesai
Lokasi: Kinosaurus, Jl. Kemang Raya No.8B, Jakarta Selatan (Masuk dari Toko Buku Aksara)
Acara: Bincang-bincang santai bersama Edwin seputar presentasinya di Berlinale 2016 berjudul Rotting Away Behind Locked Doors.
Besar harapan kami kepada kawan-kawan media untuk menyempatkan hadir dan menyebarkan kabar ini.
Untuk konfirmasi kehadiran, harap melakukan RSVP melalui email ini: [email protected]
Atas perhatian dan dukungannya kami ucapkan terima kasih.
Salam,
Lab Laba Laba
LAB LABA LABA presentation at DIFFRAKTION
LABOR BERLIN, 6 February 2016, 10 p.m.
TROPICAL DECAY – INDONESIAN EXPERIMENTAL FILMS FROM THE DEGRADING VAULT
Presented by Rizki Lazuardi
From the long-locked dusty vault of audio-visual propaganda factory, to the forgotten archive of educational institution. In Indonesia, some collective memories are dissolving by vinegar syndrome and abandonment. But humid tropical climate degrades celluloid slower than state film facility asset liquidation. Through serpentine bureaucracy and missing catalogues, Lab Laba-Laba excavates and generates works from these vaults.
- PSEUDO CELEBRATION OF DEMOCRACY / Feransis, 2015, 16mm, 2 min
- THE MOUSE DEER AND THE FIRE / Ruddy Hatumena, 2015, video and 16 mm, 7min
- VIS A VIS II / The Youngrrr, 2015, 16 mm, 2 min
- STORY ABOUT GRANDMA, SENO SASTROAMIDJOJO / Marseli Sumarno, 1979, Super 8, 11 min
- WAITING / Seno Gumira Ajidarma, 1977, Super 8, 2 min
- LAST TIME I SAW YOU, I THOUGHT YOU WERE SMILING / Aditya Martodiharjo, 2015, 16 mm, 4 min
- SURABAYA JOHNY / Finsa Saputra, 2015, Super 8, 3 min
- SEXBILL LLL / The Sexbill, 2015, video, 15 min
Lab Laba-Laba is a community formed in 2014 by movie makers and enthusiasts with the mission to save all celluloid films in PFN (Produksi Film Negara/State Film Production) and to produce art works out of them.
LABOR BERLIN, 6 February 2016, 10 p.m.
TROPICAL DECAY – INDONESIAN EXPERIMENTAL FILMS FROM THE DEGRADING VAULT
Presented by Rizki Lazuardi
From the long-locked dusty vault of audio-visual propaganda factory, to the forgotten archive of educational institution. In Indonesia, some collective memories are dissolving by vinegar syndrome and abandonment. But humid tropical climate degrades celluloid slower than state film facility asset liquidation. Through serpentine bureaucracy and missing catalogues, Lab Laba-Laba excavates and generates works from these vaults.
- PSEUDO CELEBRATION OF DEMOCRACY / Feransis, 2015, 16mm, 2 min
- THE MOUSE DEER AND THE FIRE / Ruddy Hatumena, 2015, video and 16 mm, 7min
- VIS A VIS II / The Youngrrr, 2015, 16 mm, 2 min
- STORY ABOUT GRANDMA, SENO SASTROAMIDJOJO / Marseli Sumarno, 1979, Super 8, 11 min
- WAITING / Seno Gumira Ajidarma, 1977, Super 8, 2 min
- LAST TIME I SAW YOU, I THOUGHT YOU WERE SMILING / Aditya Martodiharjo, 2015, 16 mm, 4 min
- SURABAYA JOHNY / Finsa Saputra, 2015, Super 8, 3 min
- SEXBILL LLL / The Sexbill, 2015, video, 15 min
Lab Laba-Laba is a community formed in 2014 by movie makers and enthusiasts with the mission to save all celluloid films in PFN (Produksi Film Negara/State Film Production) and to produce art works out of them.
Irresistible Decay of Ari Dina Krestiawan at EXIS : Experimental Film & Video Festival in Seoul
I have always been intrigued by the “artifacts” scattered in the State Film Production Center’s (PFN) Laboratory. Film production process using celluloid leaves an interesting aftertaste too irresistible too be ignored. Each of the processes involves a different equipment, and it always leaves behind physical materials; “leftovers”, if you will. |
Of fading film and lost celluloid on National Film Day / Tertiani ZB Simanjuntak, The Jakarta Post, Jakarta | March 31 2015
On National Film Day, observed on March 30, movie makers and film critics are saying that the government, the private sector and the people need to prioritize preserving the nation’s celluloid heritage. |
Mempertanyakan PPFN / koalisiniseni.or.id | Oming Putri
Shelvy Arifin, direktur Perum Produksi Film Negara (PPFN), punya cita-cita tinggi: membangkitkan kembali perusahaan milik negara ini setelah sepuluh tahun mati suri. Ia merencanakan banyak hal untuk mencapainya . Beberapa proyek telah ia rintis sejak Juni 2013 lalu. Diantaranya adalah merenovasi kembali gedung PPFN, bekerjasama dengan salah satu rumah produksi Tiongkok terkait produksi film, memproduksi beberapa film layar besar, hingga menjalin kerjasama dengan Beijing Film Academy. “Kami ingin memposisikan diri sebagai pihak koordinator yang melakukan sinergi antara teman-teman film dengan pihak pemerintah,” ujar Shelvy.
Shelvy Arifin, direktur Perum Produksi Film Negara (PPFN), punya cita-cita tinggi: membangkitkan kembali perusahaan milik negara ini setelah sepuluh tahun mati suri. Ia merencanakan banyak hal untuk mencapainya . Beberapa proyek telah ia rintis sejak Juni 2013 lalu. Diantaranya adalah merenovasi kembali gedung PPFN, bekerjasama dengan salah satu rumah produksi Tiongkok terkait produksi film, memproduksi beberapa film layar besar, hingga menjalin kerjasama dengan Beijing Film Academy. “Kami ingin memposisikan diri sebagai pihak koordinator yang melakukan sinergi antara teman-teman film dengan pihak pemerintah,” ujar Shelvy.
NEWS
Only The Persistence of a Spider will Save Our Celluloid Future / Jakarta Now! | May 11 2015 | Amir Sidharta
Menangkal Ajal Arsip Film / Kompas | April 19 2015 | Mohammad Hilmi Faiq / Aryo Wisanggeni G
Lab Laba Laba & PFN . History, Preservation, and Celluloid Films. / Whiteboard Journal | April 13 2015 | Ken Jenie
Film, decay & forgotten dreams / The Jakarta Post | March 30 2015 | Seto Wardhana
Volunteers Restore Vintage Film Collection / The Jakarta Post | March 28 2015| Corry Elyda
Only The Persistence of a Spider will Save Our Celluloid Future / Jakarta Now! | May 11 2015 | Amir Sidharta
Menangkal Ajal Arsip Film / Kompas | April 19 2015 | Mohammad Hilmi Faiq / Aryo Wisanggeni G
Lab Laba Laba & PFN . History, Preservation, and Celluloid Films. / Whiteboard Journal | April 13 2015 | Ken Jenie
Film, decay & forgotten dreams / The Jakarta Post | March 30 2015 | Seto Wardhana
Volunteers Restore Vintage Film Collection / The Jakarta Post | March 28 2015| Corry Elyda
|
|
Pameran Lab Laba-Laba
4-26 April 2015, 10-00-19.00 (hanya Sabtu & Minggu)
Pembukaan
Sabtu, 4 April 2015
19.00 – selesai
Gedung Laboratorium PFN (Perum Produksi Film Negara), Jl. Otista Raya 125-127, Jakarta Timur
Seniman:
Anggun Priambodo, Anton Ismael, Ari Dina, Edwin, Feransis, Luthfan Nur Rochman, MG Pringgotono, Rizki Lazuardi, Ruddy Hatumena, The Sekbil, The Youngrrr, Tumpal Tampubolon.
Music : Mondo Gascaro, Adrian Adioetomo, Glovvess, Crayola Eyes, Future Collective, Napolleon, Animalism, Bin Idris, Irama Nusantara, Neowax, Radioage, Kracoon, Billy Saleh, dan MMS.
Workshop, 12 April 2015, 10.00 – selesai
Tur bersama kurator, 18 April 2015, 13.00-15.00
Artist Talk, 19 April 2015, 13.00 – 15.00
Info: 081311163780
Instagram: @lablabalaba
Twitter : @lablabalaba
Facebook: Lab Laba-Laba
|
Kami mempelajari, memutar, dan bermain dengan celluloid
|